Hak subjektif adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya, tanpa campur tangan dari pihak lain. Hak subjektif bersumber dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.
Namun, hak subjektif tidak bersifat absolut dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, nilai-nilai agama, moral, dan kesusilaan. Oleh karena itu, hak subjektif dapat dibatasi oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang sah dan berdasarkan prinsip proporsionalitas.
Salah satu lembaga negara yang berwenang untuk menguji sah atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang membatasi hak subjektif adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pengujian undang-undang terhadap konstitusi, termasuk mengenai hak asasi manusia.
Dalam menjalankan kewenangannya, MK telah menetapkan beberapa indikator untuk menilai apakah pembatasan hak subjektif oleh undang-undang telah memenuhi syarat konstitusional atau tidak. Indikator-indikator tersebut adalah:
- Adanya dasar konstitusional yang mengatur pembatasan hak subjektif.
- Adanya tujuan yang jelas dan sah dari pembatasan hak subjektif.
- Adanya keterkaitan yang rasional antara pembatasan hak subjektif dengan tujuan yang ingin dicapai.
- Adanya proporsionalitas antara pembatasan hak subjektif dengan manfaat yang diperoleh bagi kepentingan umum.
- Adanya jaminan perlindungan hukum bagi pemegang hak subjektif yang dibatasi.
Indikator-indikator ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi para pembuat kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat untuk menilai apakah suatu undang-undang telah membatasi hak subjektif secara konstitusional atau tidak. Jika salah satu indikator tidak terpenuhi, maka pembatasan hak subjektif dapat digugat ke MK untuk diuji kelayakannya.